Powered By Blogger

"a letter for a broken soul"

Ingat kamu saat kita susah? Tiap airmata yang tercurah, tiap keringat usaha kita untuk bersama, tiap janji yang terucap lalu terikat? Kemana semua usaha kita itu? Tertiup angin perasaan sesaat. Terhempas oleh napsu yang tak mampu dikekang. Terbang dibawa emosi. Untuk kemudian menguap dan menghilang.

Aku benci kamu. Bahkan kini, saat suaramu semakin jauh dan cengkeraman sayangmu terlepas. Namun bayangmu, terus mengikuti meski terasa kabur kian hari. Ia ada dibelakangku saat aku bercermin. Ia menyuapiku saat aku makan. Ia duduk disampingku saat aku sibuk bekerja. Ia mengusap kepalaku saat aku letih. Ia ikut tersenyum saat aku memaksa tertawa meski semu. Ia menyeka airmataku saat aku terisak disudut kamar. Ia memelukku hangat saat tidurku terasa menggigil. Ia ada dihatiku. Dikepalaku. Didarahku. Dihidupku. Ia dimana-mana. Bayangmu dimana-mana.

Aku benci diriku. Ingin ku bunuh semua memori indah namun menyakitkan ini. Ingin ku buat amnesia diriku sendiri. Ingin ku teriakkan di telinga mu betapa menyesakkan sakit ini. Ingin ku hancurkan kepala bodoh ini yang isinya hanya kamu, kamu, kamu, dan kamu!

Tapi diam mu, diam mu semakin membunuhku. Perlahan. Sakit sekali. Jiwaku melayang. Kaku. Dan lalu mati.

Hanya ingin mengingat


                Hanya ingin mengingat- ingat nostalgia bersamamu menjelang kepergianmu
                Pertama kali berpapasan langsung saat kamu membantuku memasang bola lampu di rumah ku. Suasana terasa begitu hening karena tak ada yang berani membuka pembicaraan saat kamu dan aku saling menatap dari sudut ke sudut. Suasana mencair saat kita bercerita tentang perkuliahan, rencana hidup dalam lima tahun kedepan. Aku tercengang kagum saat mendengar semua rencana hidupmu untuk menghidupi dirimu dan seluruh keluargamu. Aku tak habis fikir, mengapa anak seusia kamu sudah berfikir sejauh itu? Sudah memikirkan tanggung jawabmu sebagai seorang kepala keluarga. Aku mulai memperhatikanmu, menjadikanmu sebagai panutan hidupku dan berharap kau akan menuntun hidupku esok.
                Keesokkan malamnya saat hujan dera kamu terjebak di luar rumah, sms mu masuk dengan isi berharap meminjam handuk kepada kami. Bukan bermaksud untuk mengabaikanmu tapi memang malam itu kami sedang sibuk mengurus keperluan keluarga baru kami untuk persiapan ospek. Keesokan paginya aku ngotot meminta pada temanku untuk mengucapkan terimakasih padamu karena sudah begitu banyak membantu kami.
                Aku memberanikan diri untuk menyapamu lebih dulu. Kamu pun memberikan respon yang sangat baik. Aku semakin mengagumimu dan semakin ingin tau lebih banyak tentangmu.
                Pertemuan kita pun menjadi hal yang paling aku tunggu,pertemuan pertama yang sudah lebih berarti dibanding pertemuan- pertemuan sebelumnya adalah saat aku berjalan dari arah kampus menuju rumah dan sebaliknya. Tapi kamu tak menyapaku. Ya itu wajar karena kamu fokus dengan jalan saat mengendarai motormu itu. Sorenya giliranku yang tak menyapamu karena aku benar- benra tak melihatmu di simpang jalan depan rumahmu itu. Aku terlalu terburu- buru untuk menyelesaikan tugasku.
                Keesokkan harinya pertemuan kita sudah sedikit lebih baik, kita berangkat beriringan kekampus. Tapi kita tak berani saling menyapa. Kamu malah menurunkan kecepatan motormu agar bisa berjalan di belakangku. Kita masih belum berani mengucapkan seuntai kata untuk saling menyapa.
                Hari ini kita mempunyai jadwal kuliah yang sama. Tapi seperti biasa aku berangkat 15 menit sebelum masuk sementara kamu hanya dalam selang waktu beberapa menit sebelum kuliah. Mungkin karena sudah gari stakdir dari yang di atas. Aku meninggalkan berkas- berkas penting untuk kuliah dan memaksaku untuk menjemputnya  kerumah beberapa menit sebelum kuliah di mulai. Di “pintu doraemon” (jalan pintas dari wilayah rumahku untuk menuju kampus) aku berpapasan langsung denganmu. Ini sungguh luar biasa karena untuk yang pertama kali kamu yang lebih dulu tersenyum padaku.